Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung.
Dikatakan : nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan
berkumpul dalam satu tempat.[1] Berkata
Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan untuk
menyebut “akad nikah” , kadang digunakan untuk menyebut hubungan seksual.”
Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa orang
Arab menyebutkan kata “Nukah al Mar-atu”
artinya adalah organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha
al-mar-ata” artinya telah menggauli di
organ kewanitaannya.
Adapun “Nikah” secara istilah adalah : “Akad yang dilakukan
antara laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya untuk
melakukan hubungan seksual” .
Nikah merupakan satu-satunya cara yang disetujui oleh agama
apapun untuk melanjutkan keturunan. Bila dahulu para pemuka agama memandang
nikah sebagai akad untuk menghalalkan seorang laki-laki menggauli seorang
perempuan, maka saat ini para tokoh perempuan dan juga pemuka agama menyerukan
makna nikah tidak hanya melulu urusan seksual namun maknanya lebih mulia dari
itu. Saat ini makna nikah lebih pada janji ikatan antara laki-laki dan
perempuan untuk hidup mrngarungi bahtera rumah tangga berdua dengan berbagai
macam konsekuensinya.
Berikut ini adalah pengertian dan definisi nikah:
# ABDURRAHMAN AL
JUZAIRI, AL-FIQH 'ALA AL-MADZABIHIL ARBA'AH
Nikah adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan
kepada laki - laki hak memiliki penggunaan farj (alat kelamin) wanita dan
seluruh tubuhnya untuk berhubungan badan
# FATWA AL AZHAR
Nikah adalah ikatan perjanjian /al-aqd yang telah ditetapkan
oleh Allah untuk menghalalkan istimta' atau hubungan badan antara lak-laki dan
wanita yang bukan mahramnya
# MADZHAB HANAFI
Nikah itu adalah akad yang berguna untuk menguasai dan
bersenang-senang dengan sengaja
# MADZHAB MALIKI
Nikah adalah akad yang semata-mata membolehkan
bersenang-senang (dengan wanita)...dan seterusnya
# MADZHAB SYAFI'I
Nikah adalah akad yang mengandung hak watha' (hubungan
seksual) dengan lafadz nijah atau tazwij atau kata yang semakna dengan dua kata
tersebut
# ULAMA AL AZHAR
Nikah adalah akad yang memberi manfaat secara hukum dalam
hal kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita
dan saling tolong-menolong serta membatasai hak bagi pemiliknya dan memenuhi
kewajiban masing-masing pihak
# TATY ELMIR
Nikah adalah ikatan mulia yang membedakan manusia dengan
binatang
# ASMA NADIA
Nikah adalah suatu perjanjian yang dapat mengguncang 'Arsy
Allah karena hal-hal yang tadinya haram, ketika laki-laki dan perempuan menikah
malah menjadi halal dan bahkan berpahala
# M. FAUZIL ADHIM
& M. NAZHIF MASYKUR
Nikah merupakan bagian dari syari"at agama dan karena
itu kita perlu berpijak pada tuntunan Nabi SAW
Apa ARTI sebuah Pernikahan ?
Pertama- tama, Pernikahan adalah sebuah persekutuan. Dimana
dua hati menjadi satu.
Pernikahan adalah sebuah KEBERSAMAAN dan PERSAHABATAN. Hidup
bersama, bekerjasama, melakukan banyak hal bersama dan tak menginginkan yang
lain.
Pernikahan artinya pengertian. Ia buta terhadap kesalahan
pasangannya. Ia penuh pengertian atas setiap hal atas waktu, perasaan dan
keinginan pasangannya.
Pernikahan artinya perhatian. Ia sangat peduli. Ia bersedia
meninggalkan caranya sendiri demi mempedulikan kepentingan pasangannya.
Pernikahan artinya kebajikan. Ia mengucapkan kata-kata yang
baik dan menaruh kata-katanya ke dalam tindakan.
Pernikahan artinya dukungan.
Ia mendukung usaha-usaha pasangannya, projeknya, pada segala
situasi dan kondisi.
Ia memberikan dukungan moril, fisik, doa, pokoknya dukungan
yang seutuhnya.
Ia memberi semangat dan mengobarkannya ketika pasangannya
patah semangat.
Ia membungkuk untuk mengangkat pasangannya. Ia menguatkan
hati ketika pasangannya lemah.
Pernikahan artinya berkomunikasi secara jujur dan terbuka.
Ia bersedia membuka hati berbagi pemikiran terdalam dengan rendah hati.
Pernikahan artinya berbincang, berdoa, berdialog dan
menyetujui bersama. Pernikahan tak membiarkan dinding apapun terbangun di
antara mereka dengan mengabaikan pasangan, melainkan mencari solusi kreatif.
Pernikahan artinya pengorbanan.
Ia memberikan diri bagi orang yang anda cintai. Ada
kesediaan untuk mengalah, melepaskan ide / keinginan pribadi demi membahagiakan
pasangannya.
Pernikahan artinya belas kasihan. Ia lebih suka pasangannya
berbahagia daripada berbahagia sendirian.
Pernikahan itu hubungan timbal balik yang saling memberi dan
menerima.
Dalam Pernikahan ada giliran untuk saling bertanggung jawab,
bukan hanya tanggung jawab sepihak.
Pernikahan artinya penundukan diri. Ia memberikan kesempatan
kepada pihak pasangan. Menikah artinya satu sama lain saling belajar.
Pernikahan artinya berpikiran terbuka dan berjalan sejauh
satu mil dalam sepatu pasangannya.
Pernikahan artinya saling mendengarkan dan mengerti.
Pernikahan artinya mau hadir untuk pasangan di saat-saat
baik maupun buruk.Pasangan menikah berdiri bersama dalam segala keadaan, rapuh
ataupun kokoh, sepanas apapun ujian dan seberat apapun tantangannya.Pernikahan
itu proses belajar membiarkan hal- hal kecil berlalu.
Pernikahan itu harus ada rasa humor.
Bisa merasa rileks bersama, Bisa saling menikmatiâ
Pernikahan merupakan perjalanan penjelajahan. Saling
menemukan dan belajar tentang keunikan yang dilakukan dan dikatakan
pasangannya.
Pernikahan artinya saling menghormati.
Dalam Pernikahan pasangan belajar saling mempercayai.
Pernikahan artinya saling menerima pasangannya apa adanya.
Pernikahan membawa orang pada kesadaran bahwa ia tak bisa
lengkap tanpa pasangannya.
Kata Nikah Dalam Al Qur’an
Dalam al-Qur’an dan as-Sunah kata “Nikah” kadang digunakan untuk menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu hubungan seksual.
Contoh menikah yang artinya akad nikah adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Maka lakukanlah akad nikah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Qs. an-Nisa’ : 3)
Contoh lain adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu lakukan akad nikah dengan wanita-wanita yang telah melakukan akad nikah dengan ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”(Qs. an-Nisa : 22)
Adapun contoh menikah yang artinya melakukan hubungan seksual adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“ Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia melakukan hubungan seksual dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Qs. al- Baqarah : 230)
Arti nikah pada ayat di atas adalah al-wath-u atau al-jima’u (melakukan hubungan seksual), bukan akad nikah. Karena seseorang tidak disebut suami, kecuali kalau sudah melakukan akad nikah.
Seorang istri yang telah diceraikan suaminya yang pertama sebanyak tiga kali, dan sudah menikah dengan suami yang kedua, maka dia harus melakukan “ nikah “ dengan suaminya yang kedua tersebut, kemudian diceraikannya, sebelum kembali kepada suaminya yang pertama. Melakukan “ nikah “ dengan suami yang kedua, maksudnya adalah melakukan “ hubungan seksual “.
Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual pada ayat di atas dikuatkan oleh hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ - يَعْنِى ثَلاَثًا - فَتَزَوَّجَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُوَاقِعَهَا أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الأَوَّلِ قَالَتْ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لاَ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَةَ الآخَرِ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا
“ Dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengenai seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga kali, kemudian wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang lain dan bertemu muka dengannya kemudian ia mencerainya sebelum mencampuri, maka apakah ia halal bagi suaminya yang pertama? Aisyah berkata; tidak. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama hingga ia merasakan manisnya (hubungan seksua) dengan suaminya yang lain, dan ia (sang suami) juga merasakan manisnya (hubungan seksual) dengannya." (HR Bukhari dan Muslim. Lafadh di atas dari riwayat Abu Daud.)
Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti nikah adalah melakukan hubungan seksual adalah sabda Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam :
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إلَّا النِّكَاح
“ Lakukanlah segala sesuatu (dengan istrimu yang sedang haid) kecuali nikah, yaitu jima’(HR. Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan :
اصْنَعُوْا كُلّ شَيْءٍ إلّا الجِمَاع
“ Lakukanlah segala sesuatu (dengan istrimu yang sedang haid) kecuali jima’'. (Hadist Shahih Riwayat Ibnu Majah)
Setelah kita mengetahui bahwa nikah mempunyai dua arti, yaitu akad nikah dan melakukan hubungan seksual, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita membedakan antara dua arti tersebut di dalam suatu pembicaraan ? Para ulama membedakan antara keduanya dengan keterangan sebagai berikut : Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan lain, yaitu fulanah binti fulan, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan akad nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan istrinya, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya.
Dari kedua makna nikah di atas, mana yang hakikat dan mana yang majaz ? Para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa nikah pada hakikatnya digunakan untuk menyebut akad nikah, dan kadang dipakai secara majaz untuk menyebutkan hubungan seksual. Ini adalah pendapat shahih dari madzhab Syafi’iyah, dishahihkan oleh Abu Thoyib, Mutawali dan Qadhi Husain. Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Syekh al-Utsaimin.
Pendapat kedua : bahwa nikah pada hakikatnya dipakai untuk menyebut hubungan seksual. Tetapi kadang dipakai secara majaz untuk menyebut akad nikah. Ini adalah pendapat al-Azhari, al-Jauhari dan az-Zamakhsari, ketiga orang tersebut adalah pakar dalam bahasa Arab .
Hukum Menikah
Hukum menikah dibagi menjadi dua ; pertama : hukum asal dari pernikahan, kedua : hukum menikah dilihat dari kondisi pelakunya.
A. Hukum Asal Dari Pernikahan
Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah pendapat sebagian ulama, berkata Syekh al-Utsaimin :
“Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang mampu (secara fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut terdapat maslahat yang agung.“
Dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut :
- Pertama : Hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata :
قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat). (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam dalam hadist di atas memerintahkan para pemuda untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj” (segeralah dia menikah), kalimat tersebut mengandung perintah. Di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa : “al ashlu fi al amr lil wujub “ (Pada dasarnya perintah itu mengandung arti kewajiban).
- Kedua : bahwa menikah itu merupakan perilaku para utusan Allah subhanahu wa ta’ala , sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. (Qs. ar- Ra’du : 38)
- Ketiga : hadist Anas bin Malik radhiyallahu ta’ala :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“ Dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, “Saya tidak akan menikah.” Kemudian sebagian lagi berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Dan sebagian lain lagi berkata, “Aku tidak akan tidur di atas kasurku.” Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: “Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Keempat : karena tidak menikah itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang Nashara, sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadat adalah haram. Berkata Syekh al Utsaimin :
“ …dan karena dengan meninggalkan nikah padahal ia mampu, merupakan bentuk penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah sebagai bentuk peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya adalah haram. “
Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.
Pendapat Kedua : bahwa hukum asal dari pernikahan adalah sunnah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Nawawi : “Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak diketahui seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad. “
Dalil-dalil mereka adalah :
Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala :
÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Qs. an-Nisa’ : 3)
Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama (bahwa menikah hukumnya sunnah), karena Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang meninggalkan kewajiban tidak berdosa. “
Perintah yang terdapat dalam hadist Abdullah bin Mas’ud di atas bukan menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukan “al-istihbab “(sesuatu yang dianjurkan).
Kedua : Bahwa menikah maslahatnya kembali kepada orang yang melakukannya terutama yang berhubungan dengan pelampiasan syahwat, sehingga dikatakan bahwa perintah di atas sebagai bentuk pengarahan saja.
B. Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya
Adapun hukum nikah jika dilihat dari kondisi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut :
Pertama : Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya, sehingga dikawatirkan akan terjerumus di dalam perzinaan.
Begitu juga seorang mahasiswa atau pelajar, jika dia merasa tidak bisa konsentrasi di dalam belajar, karena memikirkan pernikahan, atau seandainya dia terlihat sedang belajar atau membaca buku, tapi ternyata dia hanya pura-pura, pada hakekatnya dia sedang melamun tentang menikah dan selalu memandang foto-foto perempuan yang diselipkan di dalam bukunya, maka orang seperti ini wajib baginya untuk menikah jika memang dia mampu untuk itu secara materi dan fisik, serta bisa bertanggung jawab, atau menurut perkiraannya pernikahannya akan menambah semangat dan konsentrasi dalam belajar.
Kedua : Nikah hukumnya sunah bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan. Imam Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim menyebutkan judul dalam Kitab Nikah sebagai berikut : “Bab Dianjurkannya Menikah Bagi Orang Yang Kepingin Sedangkan Dia Mempunyai Harta “.
Ketiga : Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat.
Keempat : Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. Tentu akan lebih baik, kalau dia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Selain itu, istrinya akan sedikit tidak terurus, dan kemungkinan tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita.
Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah, tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah makruh.
Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat :
- Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas ulama Syafi’iyah.
- Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sebagian dari ulama Syafi’iyah serta sebagian dari ulama Malikiyah. Kenapa? karena barangkali istrinya bisa membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti memasak, menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya, menemaninya ngobrol, berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak mesti melulu melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat sepasang suami selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama, keakraban, menjalin hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.
Kelima : Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab dan akan menelantarkan istri dan anak.
Syekh al-Utsaimin memasukan pernikahan yang haram adalah pernikahan yang dilakukan di Darul Harbi ( Negara Yang Memusuhi Umat Islam ), karena dikhawatirkan musuh akan mengalahkan umat Islam dan anak-anaknya akan dijadikan budak. Tetapi jika dilakukan dalam keadaan darurat, maka dibolehkan.
Sekian artikel kali ini, Semoga Bermanfaat. amin.